Oleh Fahmi Fahriansyah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
Akhir-akhir ini, kasus mega korupsi semakin sering terdengar di telinga masyarakat Indonesia. Banyak kasus korupsi yang terungkap dengan nilai mencapai ratusan triliun rupiah. Salah satunya adalah kasus di PT Pertamina, di mana terungkap bahwa bahan bakar minyak (BBM) beroktan 92 (Pertamax) dioplos dan diturunkan kualitasnya menjadi RON 90 (Pertalite). Pelaku dari praktik oplosan ini diduga adalah salah satu direktur utama PT Pertamina sendiri.
Akibat skandal ini, PT Pertamina mengalami kerugian besar. Masyarakat merasa sangat dirugikan karena mereka membeli dan menggunakan RON 92 dengan harapan mesin kendaraan mereka lebih awet dan tahan lama. Namun, kenyataannya, BBM yang mereka gunakan hanyalah RON 90. Kepercayaan publik pun merosot, dan banyak konsumen beralih ke pesaing, seperti Shell, yang dianggap lebih terpercaya.
Penurunan jumlah pelanggan ini berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat terhadap produk BBM PT Pertamina, yang akhirnya berdampak pada turunnya pendapatan dan keuntungan perusahaan. Akibatnya, harga saham PT Pertamina pun mengalami kejatuhan yang signifikan. Hal ini juga menyebabkan para investor yang memiliki saham di PT Pertamina mengalami kerugian besar.
Pada penutupan perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 25 Februari 2025, harga saham perusahaan yang tergabung dalam Pertamina Grup terpantau berakhir di zona merah. Saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) atau PGN mengalami penurunan sebesar 1,8% ke level 1.635 dari posisi penutupan sebelumnya di 1.665, dengan nilai transaksi mencapai Rp32,77 miliar. Pelemahan harga saham ini menyebabkan nilai kapitalisasi pasar (market cap) turun menjadi Rp39,64 triliun. Dalam sepekan, harga saham tercatat melemah sebesar Rp3,82 triliun, meskipun dalam setahun sempat menguat 44,05%. Sementara itu, saham PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) juga turun 2,12% ke level 925 dari 945, dengan nilai transaksi sebesar Rp14,67 miliar.
Dampak dari penurunan saham ini sangat serius. PT Pertamina mengalami kesulitan finansial, bahkan berisiko mengalami kebangkrutan. Selain itu, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pun terjadi di berbagai sektor perusahaan.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas kerugian ini? Direktur utama atau komisaris?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), apabila suatu perusahaan mengalami kerugian, maka tanggung jawab berada pada direktur utama (CEO) dan dewan komisaris. Dengan demikian, dalam kasus ini, baik CEO maupun komisaris PT Pertamina sama-sama bertanggung jawab atas kerugian akibat anjloknya harga jual dan saham perusahaan.
Lebih lanjut, dalam UU PT, CEO dan dewan direksi juga dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi. Mengingat skandal oplosan BBM ini dilakukan oleh pihak direksi, maka komisaris pun ikut bertanggung jawab, karena mereka seharusnya mengawasi kebijakan dan tindakan yang diambil oleh direksi.
Kasus ini menjadi peringatan bahwa pengawasan dalam perusahaan, terutama yang bergerak di sektor strategis seperti energi, harus lebih ketat. Jika tidak, dampaknya tidak hanya merugikan perusahaan itu sendiri, tetapi juga masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan.
Penulis :
Fahmi Fahriansyah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung.
Fahmi adalah seorang mahasiswa aktif, di fakultas hukum universitas Bangka Belitung, kini Ia berada di semester 6.
Fahmi Fahriansyah juga sering menulis berbagai opini, yang telah banyak tembus di media massa, bisa dilihat dan cari sendiri. sesekali tulisan kelahiran Jakarta 08 Mei 2004, mahasiswa Universitas Bangka Belitung ini juga berceloteh soal hukum dan issue lokal dan pusat.
Catatan Redaksi :
————————————
Isi narasi opini ini diluar tanggung jawab Redaksi, apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dalam penyajian artikel, opini atau pun pemberitaan tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Berita dan atau opini tersebut dapat dikirimkan ke redaksi media kami melalui email atau nomor whatsapp seperti yang tertera di box Redaksi.