Opini Oleh Muhamad Zen
DULU, Agus Adaw dengan lantang menegaskan bahwa Wali Kota Pangkalpinang, Maulan Aklil (Molen), tidak layak melanjutkan kepemimpinannya. Melalui pernyataan yang tersebar luas di media, ia menyoroti kinerja Molen dan menyebutnya pantas mendapat “raport merah.”
Kritik tersebut didasari pada penilaian bahwa Molen gagal dalam menjalankan roda pemerintahan dengan baik, terutama dalam menata tata ruang kota dan mendorong kemajuan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat Pangkalpinang.
Agus Adaw mengutarakan kekecewaannya bahwa tidak ada terobosan berarti yang dilakukan Molen selama menjabat. Bahkan, dalam salah satu pernyataannya, ia menganggap perubahan slogan kota dari “Kota Berarti” menjadi “Kota Senyum” sebagai keputusan yang keliru, menggambarkan bahwa kebijakan Molen cenderung jauh dari prinsip yang membawa manfaat nyata bagi masyarakat.
Namun, kini seiring berjalannya waktu dan mendekati Pilkada 2024, yang mencengangkan justru adalah perubahan sikap Agus Adaw.
Tokoh yang sebelumnya tegas dalam menilai kinerja Molen sebagai “gagal” kini memberikan dukungan. Perubahan sikap ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat Pangkalpinang yang ingat akan kritik kerasnya terhadap Molen, ataukah ada motivasi lain yang mendasari peralihan sikapnya?
Sebagai seorang tokoh masyarakat yang diharapkan dapat memberikan pandangan objektif, Agus Adaw seolah menunjukkan ketidakstabilan dalam pendiriannya. Sikap yang berubah-ubah ini menimbulkan kebingungan di kalangan warga.
Jika pada masa lalu ia berpendapat bahwa Molen tidak pantas maju lagi dalam Pilkada karena kurangnya prestasi, apa yang membuatnya kini mendukung? Masyarakat pun patut mempertanyakan, apakah seorang yang mengaku tokoh masyarakat dengan prinsip kuat dapat dijadikan panutan bila ucapannya tidak konsisten?
Di usianya yang telah memasuki masa senja, perubahan pendirian seperti ini seolah menunjukkan bahwa ingatannya akan pernyataan masa lalu telah pudar. Namun, masyarakat tentu memiliki memori kuat tentang siapa yang dahulu vokal memberikan kritik, dan kini tiba-tiba berbalik arah.
Seorang tokoh bukan hanya seseorang yang bisa memberikan pandangan tajam terhadap keadaan, tetapi juga memiliki prinsip yang jelas dan tidak goyah oleh keadaan.
Perubahan sikap Agus Adaw ini bisa saja berdampak pada pandangan masyarakat terhadapnya sebagai seorang panutan. Tokoh masyarakat yang sejati adalah mereka yang mampu mempertahankan pendiriannya demi kepentingan umum, bukan yang berubah-ubah sesuai situasi atau hubungan dengan tokoh tertentu.
Masyarakat layak mempertimbangkan siapa yang konsisten mengedepankan kepentingan rakyat dibandingkan sekadar mengikuti arus kepentingan pribadi atau kelompok.
Lebih lanjut, sikap Agus Adaw yang berubah-ubah ini memperlihatkan bahwa ia tampaknya lebih cenderung “memainkan peran sesuai situasi.” Ketika suatu posisi dianggap menguntungkan, ia mendukung, namun jika arah situasi berbalik, pendirian dan pernyataannya pun ikut berubah.
Sikap seperti ini sangat disayangkan, terutama dari seseorang yang mengaku sebagai “tokoh masyarakat.” Seharusnya, seorang tokoh masyarakat adalah figur yang teguh dalam prinsipnya, berani berpendirian kuat untuk kepentingan rakyat, bukan berpihak hanya ketika ada keuntungan pribadi.
Perilaku ini menimbulkan pertanyaan besar dibenak masyarakat Pangkalpinang: sebenarnya Agus Adaw ini tokoh masyarakat yang memperjuangkan kepentingan umum atau hanya “toko kelontong” yang menjual opini sesuai pesanan?
Masyarakat butuh figur yang konsisten, yang berani berpendirian meskipun situasi berbalik. Di saat krisis kepercayaan terhadap tokoh publik semakin meningkat, sikap yang plin-plan dan oportunis seperti ini malah membuat kredibilitas seorang tokoh dipertanyakan.
Jika Agus Adaw mudah mengubah pendapat dan mendukung calon yang dulu ia sebut sebagai gagal, masyarakat patut ragu apakah ia benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat atau sekadar mencari keuntungan jangka pendek?
Pada akhirnya, dukungan seorang tokoh masyarakat yang hanya “ikut angin” dapat menjadi cermin buruk bagi masyarakat. Tokoh yang seharusnya menjadi contoh, seharusnya menjadi pengarah, malah memperlihatkan betapa mudahnya kepentingan rakyat dipinggirkan demi keuntungan pribadi.
Ini bukan contoh seorang yang di tokoh kan, ini lebih mirip seseorang yang hanya membuka “toko kelontong politik”, di mana setiap opini bisa diperjualbelikan sesuai permintaan.
Masyarakat Pangkalpinang berhak mendapatkan figur yang benar-benar peduli, yang bukan hanya bersuara keras di satu sisi kemudian berbalik mendukung tanpa alasan yang kuat. Kedepan, warga harus semakin jeli dalam memilih siapa yang benar-benar bisa diandalkan, bukan hanya di depan kamera, tetapi dalam prinsip dan tindakan nyata.
Penulis : Muhamad Zen