Berkah Musiman: Dari Kotak Kosong ke Kantong Berisi

Opini

Oleh Muhamad Zen 

PILKADA Kota Pangkalpinang 2024 yang dimenangkan oleh kotak kosong membawa kita ke babak baru: pemilihan ulang di tahun 2025. Rupanya, Pangkalpinang bukan satu-satunya yang mengalami fenomena ini, Kabupaten Bangka pun turut serta dalam pesta demokrasi ulang. Meski pencoblosan baru akan digelar pada Agustus nanti, euforianya sudah terasa sejak sekarang. Baliho ucapan selamat Ramadan dan Idulfitri dari para calon mulai bermunculan di setiap sudut kota, layaknya jamur di musim hujan.

Tak hanya baliho, para calon pemimpin ini juga tiba-tiba berubah menjadi malaikat sosial. Program mudik gratis? Ada. Bagi-bagi sembako? Siap. Ayam potong gratis? Tinggal pilih. Santunan anak yatim? Tentu saja! Ramadan dan Idulfitri tahun ini benar-benar istimewa bagi masyarakat Pangkalpinang rezeki datang bertubi-tubi. Kebetulan yang luar biasa, bukan?

Keberkahan pilkada ulang ini tak hanya dirasakan oleh para calon, tetapi juga oleh masyarakat. Harga kebutuhan pokok naik? Jangan khawatir, tiba-tiba banyak orang baik yang siap membantu. Sepertinya, semangat gotong royong dan kedermawanan sedang mencapai level tertinggi dan tentu saja, semua ini murni karena kepedulian sosial, bukan karena tahun politik. Masyarakat pun berhak bersyukur, karena pilkada ulang ini bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang keajaiban mendadak yang membuat hidup lebih manis. Semoga kebaikan ini tidak hanya bertahan sampai Agustus nanti!

Sebagai pengamat sosial-politik (yang tentu saja gelarnya jangan diragukan, karena saya adalah Sarjana Ilmu Politik Perkeliruan dan Sarjana Hukum Perkeliruan), fenomena ini menarik untuk dikaji. Bagaimana tidak? Tiba-tiba, kota kita dipenuhi orang-orang baik hati yang begitu dermawan. Sayangnya, kebaikan mereka memiliki siklus lima tahunan.

Sebagai anak muda yang (katanya) berpikir modern, saya sedikit heran melihat metode yang digunakan para calon pemimpin ini. Kok polanya masih sama seperti zaman dahulu? Sepertinya, belum ada yang berani menawarkan solusi agar masyarakat tidak lagi terbiasa menjadi penerima bansos musiman. Padahal, alangkah baiknya jika yang diberikan bukan sekadar bantuan sesaat, tetapi solusi jangka panjang. Namun, begitulah realitanya. Jika ada calon yang tidak melakukan aksi bagi-bagi, masyarakat justru menganggapnya tidak peduli. Seolah-olah kepedulian seorang pemimpin hanya bisa diukur dari berapa banyak bantuan yang ia bagikan sebelum pemilu.

Pilkada ulang ini memang ibarat panggung sandiwara, di mana semua orang berperan dalam skenario yang sama: calon berlomba-lomba memberi, masyarakat dengan senang hati menerima. Dan jika ada calon yang tidak mengikuti alur cerita ini? Bisa-bisa dia dianggap pemeran figuran yang tidak penting. Ah, politik memang selalu penuh kejutan! Semoga saja, setelah Agustus berlalu, kebaikan ini tetap ada, meskipun tanpa embel-embel kepentingan politik. Kita tunggu saja!

Tulisan ini dibuat pada malam lebaran. Entah ini penting atau tidak, mungkin orang akan lebih fokus merayakan lebaran daripada membaca tulisan ini. Tapi, mumpung besok lebaran, saya ingin mengucapkan: Mohon maaf lahir dan batin kepada semua yang membaca tulisan ini. Kalau ada yang minta maaf, tentu saya maafkan. Tapi kalau ada yang minta THR, saya yang minta maaf! Semoga di hari yang fitri ini, kita tidak hanya kembali suci, tapi juga kembali ke rumah, bersilaturahmi dengan keluarga. Karena sejatinya, berkah terbesar bukanlah bansos musiman, tetapi kebersamaan dengan orang-orang yang kita cintai. Selamat Idulfitri, semoga kebahagiaan ini tak hanya bertahan sampai Agustus!

 

Tentang Penulis: Muhamad Zen, Wartawan & Kritikus Sosial yang Kebanyakan Ngopi

MUHAMAD ZEN adalah wartawan sekaligus kritikus sosial yang lebih sering menulis ketimbang tidur. Alumnus Fakultas Ilmu Hukum Perkeliruan Universitas Gunung Maras (UGM), yang entah universitasnya yang typo atau memang hidupnya yang sering keliru. Yang jelas, dia tetap nekat menulis.

Beberapa orang bilang tulisannya tajam, sebagian lagi bilang biasa saja, sementara dia sendiri lebih memilih cuek sambil lanjut ngopi. Baginya, selama masih ada yang membaca, dia akan terus menulis—entah kritik sosial, politik, atau hal-hal yang bahkan Tuhan pun mungkin bingung kenapa dia bahas.

Makin larut malam, makin lancar dia menulis. Mungkin efek samping dari terlalu banyak kafein. Atau mungkin, karena di malam hari, dunia terlihat lebih jujur.

 

Catatan Redaksi :
————————————

Isi narasi opini ini di luar tanggung jawab Redaksi, apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dalam penyajian artikel, opini atau pun pemberitaan tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.

Berita Sanggahan dan atau opini tersebut dapat dikirimkan ke redaksi media kami melalui email atau nomor whatsapp seperti yang tertera di box Redaksi.

banner 970x250banner 970x250
banner 970x250 banner 970x250banner 970x250
error: Content is protected !!