Oleh: Muhamad Zen
KEHADIRAN calon independen dalam pemilihan kepala daerah kerap dianggap sebagai simbol demokrasi yang inklusif. Dalam kerangka hukum, jalur ini memang sah dan terbuka. Namun dalam praktiknya, jalan menuju pencalonan independen kerap kali lebih menyerupai rintangan ketimbang ruang partisipasi yang setara. Syarat administratif yang rumit, verifikasi faktual yang melelahkan, hingga sebaran dukungan di berbagai wilayah membuat jalur ini nyaris mustahil ditempuh, kecuali dengan tekad luar biasa dan dukungan akar rumput yang kuat.
Tidak mengherankan bila sebagian publik menilai kehadiran calon independen lebih sebagai “hiasan demokrasi” ketimbang kanal politik yang sungguh-sungguh diharapkan membawa perubahan. Apalagi, seluruh peraturan tentang pencalonan independen dirancang oleh legislatif yang seluruh anggotanya berasal dari partai politik. Maka wajar bila muncul anggapan bahwa regulasi dibuat untuk mengunci ruang kompetisi dan mempertahankan dominasi partai.
Namun, sebagaimana sering terjadi dalam sejarah politik, realitas di lapangan bisa menumbangkan skenario yang sudah disusun rapi. Kota Pangkalpinang menjadi contohnya. Dalam Pilkada 2024, ketika hanya ada satu pasangan calon yang diusung koalisi partai, rakyat justru menjatuhkan pilihan pada kotak kosong. Kemenangan kotak kosong bukan sekadar ekspresi kekecewaan, tetapi perlawanan terhadap sistem politik yang dianggap tertutup dan elitis. Pesan publik sangat jelas: “Kami menolak dipaksa memilih calon yang tidak kami kehendaki.”
Kini, menjelang Pilkada ulang pada Agustus 2025, muncul semangat baru dari sejumlah kelompok masyarakat untuk mengusung calon independen. Namun bersamaan dengan itu, beredar isu mengenai adanya tekanan terhadap penyelenggara pemilu. Isu ini merebak dari percakapan di warung kopi hingga ruang-ruang digital: ada dugaan bahwa pihak-pihak tertentu tengah berupaya menggagalkan kemunculan calon independen.
Fenomena ini patut dicermati. Sebab jika benar ada upaya sistematis untuk menghambat calon independen, maka ini mencerminkan ketakutan politik yang sesungguhnya. Padahal, calon independen tidak memiliki infrastruktur partai, tidak didukung logistik besar, dan tidak memiliki akses istimewa ke kekuasaan. Lantas, apa yang ditakutkan?
Barangkali, ketakutan itu justru muncul karena mereka tidak bisa dikendalikan. Karena dalam diri calon independen, tersimpan satu kekuatan yang tidak bisa dibeli: dukungan rakyat yang lahir dari kepercayaan, bukan transaksionalitas. Dan ketika rakyat mulai percaya bahwa perubahan bisa datang dari luar partai, maka kegelisahan elite menjadi tak terhindarkan.
Kemenangan calon independen memang belum tentu mengubah peta politik secara nasional. Tapi pesan moralnya sangat kuat: bahwa demokrasi tidak boleh dimonopoli. Bahwa rakyat berhak punya pilihan di luar poros partai. Bahwa sistem yang sehat adalah sistem yang memberikan ruang bagi semua warga negara untuk berpartisipasi secara setara.
Jika partai-partai politik ingin tetap relevan, maka mereka harus mulai membuka diri, mendengarkan suara rakyat, dan melepaskan anggapan bahwa kekuasaan adalah hak waris. Demokrasi membutuhkan kompetisi yang adil, bukan dominasi yang dikunci dengan regulasi sepihak. Dalam konteks ini, calon independen bukan ancaman, melainkan peluang untuk menyegarkan kembali sistem yang mulai kehilangan kepercayaan publik.
Karena itu, mendukung calon independen bukan sekadar pilihan elektoral, tetapi sikap politik. Ini adalah bentuk dukungan terhadap keberagaman pilihan, terhadap semangat kemandirian, dan terhadap cita-cita demokrasi yang berpihak pada rakyat, bukan hanya pada elite.
Tentang Penulis:
Muhamad Zen adalah wartawan yang lebih sering ditemukan di warung kopi ketimbang di ruang redaksi. Ia dikenal dengan gaya penulisan yang kritis dan tajam, terutama dalam membedah isu-isu demokrasi lokal. Bagi Zen, menulis bukan soal mencari aman, melainkan soal menyuarakan apa yang perlu disuarakan terutama ketika ruang partisipasi publik terasa semakin sempit.
Ia percaya bahwa selama masih ada pembaca yang peduli, wartawan punya kewajiban untuk terus menyampaikan yang penting diketahui publik, meski tak selalu menyenangkan bagi semua pihak. Sama seperti calon independen yang dianggap ancaman oleh partai, tulisan Zen kerap memicu kegelisahan.
“Menulis itu kadang bikin resah,” ujarnya suatu kali. “Tapi demokrasi justru tumbuh dari keresahan itu.”
Catatan Redaksi :
————————————
Isi narasi opini ini di luar tanggung jawab Redaksi, apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dalam penyajian artikel, opini atau pun pemberitaan tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Berita Sanggahan dan atau opini tersebut dapat dikirimkan ke redaksi media kami melalui email atau nomor whatsapp seperti yang tertera di box Redaksi.