Jakarta,Babelku.com – Pengusaha Hendry Lie resmi didakwa dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah. Jaksa mendakwa Hendry Lie telah menerima keuntungan ilegal senilai Rp 1,05 triliun dari skema korupsi yang melibatkan sejumlah pihak.
Sidang dakwaan terhadap Hendry Lie digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (30/1/2025).
Dalam persidangan, jaksa menyatakan bahwa Hendry merupakan pemegang saham mayoritas PT Tinindo Internusa, sebuah smelter swasta yang bekerja sama dengan PT Timah dalam kegiatan pengolahan timah.
Skema Korupsi dan Keterlibatan Banyak Pihak
Menurut jaksa, Hendry Lie berperan aktif dalam melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan sejumlah pihak lainnya, termasuk Rosalina (General Manager Operasional PT Tinindo Internusa) dan Fandy Lingga (Marketing PT Tinindo Internusa).
Selain itu, beberapa nama yang disebut terlibat dalam kasus ini antara lain Suparta (Direktur Utama PT Refined Bangka Tin/PT RBT), Reza Andriansyah (Direktur Pengembangan Usaha PT RBT), serta Harvey Moeis, yang mewakili PT RBT.
Jaksa juga mengungkap bahwa Hendry Lie memerintahkan Rosalina dan Fandy Lingga untuk mengajukan surat penawaran kerja sama sewa alat processing timah kepada PT Timah.
Padahal, smelter-smelter swasta yang diajak bekerja sama, seperti PT RBT, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Bina Sentosa, dan PT Stanindo Inti Perkasa, diketahui tidak memiliki kompetensi yang memadai (competent person/CP). Format surat penawaran tersebut bahkan sudah disiapkan oleh PT Timah sendiri.
Eksploitasi Timah dari Penambangan Ilegal
Lebih lanjut, jaksa mengungkap bahwa Hendry Lie bersama Fandy dan Rosalina menggunakan sejumlah perusahaan afiliasi—seperti CV Bukit Persada Raya, CV Sekawan Makmur Sejati, dan CV Semar Jaya Perkasa—untuk membeli dan mengumpulkan bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Hasil tambang ilegal ini kemudian dijual kembali kepada PT Timah dengan harga yang dimanipulasi untuk mendapatkan keuntungan besar.
Tidak hanya itu, jaksa menyatakan bahwa Hendry Lie juga menyetujui pembayaran biaya pengamanan yang diklaim sebagai dana corporate social responsibility (CSR) senilai USD 500-750 per ton kepada Harvey Moeis.
Seluruh rangkaian transaksi ini dilakukan tanpa adanya studi kelayakan atau kajian yang memadai.
Dampak Lingkungan dan Kerugian Negara Mencapai Rp 300 Triliun
Jaksa menegaskan bahwa eksploitasi timah secara ilegal ini telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan.
Penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah terjadi akibat pembiaran dari sejumlah pejabat, termasuk Suranto Wibowo, Amir Syahbana, dan Rusbani, yang masing-masing pernah menjabat sebagai Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Mereka dinilai gagal menjalankan pengawasan dan pembinaan terhadap kegiatan pertambangan di daerah tersebut.
Akibat dari praktik korupsi ini, negara mengalami kerugian keuangan yang sangat besar. Berdasarkan laporan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Republik Indonesia, total kerugian negara akibat skema korupsi ini mencapai Rp 300,003 triliun.
Jaksa meyakini bahwa Hendry Lie telah melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Aliran Dana dan Keuntungan Ilegal
Jaksa juga merinci aliran dana yang mengalir ke berbagai pihak dalam kasus ini. Berikut beberapa di antaranya:
• Hendry Lie melalui PT Tinindo Internusa menerima keuntungan sebesar Rp 1,05 triliun.
• Suparta melalui PT RBT memperoleh keuntungan hingga Rp 4,57 triliun.
• Tamron alias Aon melalui CV Venus Inti Perkasa mendapat keuntungan sebesar Rp 3,66 triliun.
• Robert Indarto melalui PT Sariwiguna Bina Sentosa memperoleh Rp 1,92 triliun.
• Suwito Gunawan melalui PT Stanindo Inti Perkasa menerima Rp 2,2 triliun.
• Harvey Moeis dan Helena mendapatkan keuntungan hingga Rp 420 miliar.
• Sebanyak 375 mitra jasa usaha pertambangan memperoleh keuntungan total mencapai Rp 10,38 triliun.
Dengan fakta-fakta yang terungkap dalam dakwaan ini, persidangan Hendry Lie diprediksi akan menjadi sorotan publik dan menjadi salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah industri pertambangan di Indonesia.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pembacaan eksepsi dari pihak terdakwa. (Ari Wibowo/KBO Babel)