Oleh: Rikky Fermana,S.IP.,C.Med, C.Par, C.NG, C.IJ, C.PW
Bangka Belitung, Babelku.com — HARI Kebebasan Pers Sedunia yang diperingati setiap 3 Mei sejatinya merupakan momentum reflektif bagi seluruh pelaku ekosistem media, tidak hanya jurnalis, tapi juga pemilik media, regulator, akademisi, hingga masyarakat umum sebagai konsumen informasi. Tahun 2025 ini, tema global “Reporting in the Brave New World: The Impact of Artificial Intelligence on Press Freedom and the Media” mengangkat kegelisahan yang semakin nyata: kebebasan pers tak lagi sekadar terancam oleh represi kekuasaan, tapi juga oleh mesin-mesin algoritmik dan manusia-manusia yang menyalahgunakan ruang kebebasan itu sendiri.
Di Indonesia, kita menghadapi paradoks kebebasan. Di satu sisi, ruang ekspresi terbuka lebar—nyaris tanpa batas. Namun di sisi lain, justru dari kebebasan yang tidak disertai tanggung jawab inilah lahir ‘kebisingan informasi’ yang membingungkan publik dan merusak esensi pers sebagai pilar demokrasi. Fenomena menjamurnya media daring tanpa badan hukum alias “media bodong”, menjadi cermin buram atas kondisi tersebut. Maka, pertanyaannya: Apakah kita benar-benar merdeka, atau justru sedang tersesat dalam semu kebebasan?
Teknologi AI telah menghadirkan kemajuan luar biasa dalam praktik jurnalistik, seperti otomatisasi produksi berita, verifikasi fakta secara cepat, dan analisis big data untuk peliputan investigatif. Namun, kemajuan ini diiringi tantangan besar: disinformasi, deepfake, manipulasi data, serta ancaman terhadap privasi dan integritas informasi. Dunia menyaksikan transformasi sistem komunikasi yang begitu cepat, namun sayangnya tidak diiringi dengan kesiapan etis dan regulasi yang memadai.
Lebih dari itu, tantangan kebebasan pers kini tidak hanya datang dari rezim otoriter atau kekuatan politik yang represif, tetapi juga dari oknum dalam masyarakat yang menyalahgunakan kemerdekaan pers. Di Indonesia, fenomena menjamurnya media daring tanpa badan hukum—sering disebut “media bodong”—menjadi masalah serius. Media seperti ini tidak tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers maupun Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sehingga mudah disalahgunakan untuk pemerasan, intimidasi, dan penyebaran berita bohong.
Disalahgunakan demi Kepentingan Pribadi
Kebebasan pers adalah pilar demokrasi. Namun, di tangan yang salah, kebebasan ini berubah menjadi senjata untuk menekan, merusak reputasi, bahkan memeras. Banyak kasus menunjukkan adanya oknum yang mengaku wartawan namun tidak paham atau sengaja mengabaikan etika jurnalistik. Mereka menjadikan media sebagai alat untuk mengintimidasi narasumber, menyebarkan berita tanpa konfirmasi, bahkan meminta uang agar berita tidak dipublikasikan.
Parahnya, sejumlah media online ini tidak bernaung di bawah perusahaan berbadan hukum, tidak terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, serta tidak memiliki struktur redaksi yang jelas. Hal ini jelas melanggar Pasal 9 ayat (2) UU Pers yang menyatakan: “Perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia.” Tanpa legalitas, produk jurnalistik mereka bukanlah karya jurnalistik sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 4 UU Pers.
Mahmud Marhaba, ahli pers dari Dewan Pers, menegaskan bahwa karya jurnalistik hanya bisa diakui jika memenuhi dua kriteria: ditulis berdasarkan kaidah jurnalistik dengan pendekatan 5W+1H secara berimbang, dan diterbitkan oleh perusahaan pers berbadan hukum. Jika tidak, maka tulisan tersebut masuk ranah hukum umum dan tidak bisa diproses melalui mekanisme Dewan Pers.
Disrupsi Teknologi dan Kegamangan Etika
Kehadiran teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam dunia jurnalistik membawa transformasi besar-besaran. Dengan tools seperti ChatGPT, Midjourney, atau Bard, seorang jurnalis bisa menghemat waktu penulisan, membuat transkrip otomatis, hingga menganalisis data dalam skala besar untuk liputan investigatif. Tapi, justru di sinilah letak ancaman barunya. AI membuka celah bagi terciptanya konten yang tampak sangat kredibel namun fiktif, seperti deepfake, manipulasi suara, hingga visualisasi naratif yang bisa merusak persepsi publik.
UNESCO dalam laporan tahun 2024 menyebut bahwa batas antara kenyataan dan rekayasa makin kabur. Generatif AI berpotensi dimanfaatkan oleh aktor jahat—baik negara, korporasi, maupun individu—untuk menyebarkan disinformasi berskala masif. Bahkan dalam lingkup media sendiri, tidak sedikit portal berita yang memanfaatkan AI secara sembarangan tanpa filter etis, hanya demi mengejar klik dan trafik.
Teknologi memang netral, tapi cara manusia menggunakannya yang menentukan apakah ia menjadi alat pembebasan atau penindasan. Dalam hal ini, tanggung jawab moral dan etika profesi jurnalis semakin penting, justru karena batas antara fakta dan opini, antara kenyataan dan narasi, menjadi kian tipis.
Kebebasan yang Disalahgunakan
Di tingkat nasional, problem pers bukan hanya terletak pada disrupsi digital, tapi pada pembiaran terhadap praktik-praktik jurnalisme yang menyimpang. Kebebasan pers sering kali dimaknai keliru sebagai “kebebasan absolut”, padahal kebebasan yang sehat selalu disertai etika dan legalitas.
Fenomena “media bodong” adalah salah satu bentuk distorsi paling nyata. Banyak orang dengan mudah mendirikan portal berita tanpa berbadan hukum, tanpa struktur redaksi, dan tanpa pemahaman atas kode etik jurnalistik. Mereka mengaku wartawan, mengenakan ID card buatan sendiri, lalu menulis berita tanpa konfirmasi, bahkan menggunakan “berita” sebagai alat pemerasan. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi kejahatan yang mencoreng martabat jurnalisme.
UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menyebut bahwa perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia (Pasal 9 ayat 2). Jika tidak, maka ia tidak diakui sebagai entitas pers dan produk beritanya tidak tergolong karya jurnalistik. Ini bukan sekadar soal administratif, tapi soal prinsip: legalitas adalah fondasi dari kepercayaan publik.
Menurut Mahmud Marhaba dari Dewan Pers, karya jurnalistik hanya sah jika memenuhi dua syarat: pertama, ditulis dengan prinsip jurnalistik (5W+1H, cover both sides, verifikasi), dan kedua, diterbitkan oleh perusahaan pers yang sah. Tanpa itu, konten berita hanya menjadi tulisan pribadi yang bisa dituntut secara pidana maupun perdata.
Media Abal-abal dan Ancaman terhadap Demokrasi
Mengapa media bodong begitu berbahaya? Karena mereka menciptakan ilusi kebenaran yang mematikan. Dalam situasi politik seperti Pemilu atau Pilkada, media abal-abal sering digunakan sebagai alat kampanye hitam, menyebarkan hoaks, dan membentuk opini secara manipulatif. Mereka menjadi “alat tempur digital” yang tidak hanya merusak reputasi kandidat tertentu, tapi juga menyesatkan publik secara sistematis.
Bayangkan dalam Pilkada Pangkalpinang, misalnya, jika informasi yang beredar berasal dari media tidak resmi, tidak jelas redaksinya, tidak punya alamat kantor, tapi mengklaim memiliki “data akurat” dari narasumber anonim. Siapa yang bisa memastikan validitas informasi itu? Jika publik tidak memiliki literasi media yang cukup, maka mereka mudah terpengaruh dan terpecah. Demokrasi yang seharusnya rasional berubah menjadi ajang manipulasi emosi.
Disinformasi semacam ini bisa menimbulkan polarisasi, konflik horizontal, hingga delegitimasi hasil pemilu. Ini bukan sekadar soal etika jurnalistik, tapi menyangkut keamanan politik dan sosial. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan: menyelamatkan jurnalisme adalah bagian dari menyelamatkan demokrasi itu sendiri.
Penegakan Hukum: Jangan Ragu Menindak
Sayangnya, penegakan hukum terhadap media ilegal masih sering tumpul. Banyak oknum yang mengatasnamakan wartawan dibiarkan berkeliaran, bahkan kadang dilindungi oleh aparat setempat karena dianggap “berguna” untuk kepentingan tertentu. Ini memperparah situasi dan membuat media profesional kehilangan daya saing moral di hadapan publik.
Herudjanto dari Dewan Pers dengan tegas menyebut bahwa media tidak berbadan hukum adalah entitas ilegal. Wartawannya tidak bisa disebut jurnalis, dan tidak dilindungi UU Pers. Jika mereka menulis berita yang merugikan orang lain, maka harus diproses secara hukum umum. Ini adalah pesan penting bagi aparat penegak hukum: jangan ragu menindak media ilegal, karena mereka bukan bagian dari pers yang sah.
Sikap tegas ini penting agar profesi jurnalis tidak menjadi pelarian bagi para pemeras atau penyebar kebencian. Wartawan bukan tukang teror. Pers bukan senjata politik. Kepercayaan publik harus dibangun lewat legalitas, profesionalitas, dan integritas.
Literasi Pers dan Filter Sosial
Di sisi lain, edukasi kepada masyarakat juga tidak kalah penting. Dewan Pers dan organisasi profesi harus aktif mengkampanyekan literasi media: ajarkan publik cara membedakan media profesional dengan media bodong. Jangan biarkan setiap orang yang punya website atau akun Instagram mengklaim diri sebagai jurnalis.
Sama halnya, pemilik media juga harus bertanggung jawab. Jangan sembarangan merekrut “kontributor” hanya karena mereka punya kamera atau aktif di media sosial. Wartawan harus melalui proses pelatihan, uji kompetensi, dan memahami hukum pers serta Kode Etik Jurnalistik. Media harus memiliki redaksi yang jelas, sistem editing yang ketat, dan SOP editorial yang terstruktur. Tanpa itu, reputasi mereka akan cepat runtuh di tengah tsunami informasi.
Tantangan AI dan Tanggung Jawab Jurnalis Masa Kini
Kita juga tidak bisa menutup mata pada tantangan baru yang dibawa oleh AI. Ketika teknologi bisa menulis, mengedit, bahkan “berpikir”, maka peran jurnalis manusia justru menjadi semakin penting—bukan untuk bersaing dalam kecepatan, tapi dalam memastikan akurasi, konteks, dan integritas informasi.
AI bisa menjadi alat bantu, tapi bukan pengganti etika. Jurnalis tetap harus menjadi penjaga gerbang informasi (gatekeeper), kurator fakta, dan pengawal nilai-nilai publik. Dalam dunia yang penuh manipulasi, peran ini menjadi lebih vital dari sebelumnya.
Kembalikan Marwah Pers sebagai Pilar Demokrasi
Di tengah badai informasi, kita harus kembali ke akar: pers bukan sekadar industri berita, tapi institusi demokrasi. Wartawan bukan sekadar penulis, tapi penjaga nurani publik. Maka, menjaga marwah pers bukan tugas satu-dua orang, tapi tanggung jawab kolektif bangsa ini.
Beberapa langkah mendesak yang harus kita ambil:
1. Menindak tegas media ilegal dan wartawan abal-abal.
2. Mendorong legalisasi dan profesionalisasi semua media daring.
3. Memastikan setiap wartawan memiliki sertifikasi kompetensi dan pelatihan etika.
4. Mengembangkan program literasi pers nasional untuk masyarakat.
5. Memperkuat pengawasan internal dalam media massa.
6. Mendorong regulasi AI di bidang media agar tidak dimanfaatkan untuk disinformasi.
7. Membangun kolaborasi strategis antara pemerintah, media, masyarakat sipil, dan platform teknologi.
Kebebasan pers bukanlah lisensi untuk semaunya, tetapi amanah untuk bertanggung jawab. Pers yang merdeka harus mampu membela kebenaran, menyuarakan yang tak terdengar, dan menjadi penyeimbang kekuasaan. Jika kita gagal menjaga marwah ini, maka yang tersisa hanyalah kebisingan yang membingungkan, bukan kebebasan yang mencerdaskan.
Dan ketika pers kehilangan kepercayaan publik, maka demokrasi pun kehilangan fondasinya. Maka dari itu, mari rawat kemerdekaan pers dengan etika, hukum, dan hati nurani. (KBO Babel)
————————————————————————————————————————-
Penulis : Rikky Fermana,S.IP.,C.Med, C.Par, C.NG, C.IJ, C.PW (Penanggungjawab KBO Babel, Ketua DPD Pro Jurnalismedia Siber/PJS Babel, Ketua DPW Babel IMO Indonesia dan Kontributor Berita Nasional)