Oleh: Muhamad Zen
Hari ini, publik dihadapkan pada kenyataan pahit: digelarnya pemilihan kepala daerah (Pilkada) ulang di Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinang. Ini bukan sekadar agenda politik yang diulang, tapi sebuah ironi besar karena terjadi di tengah kondisi keuangan daerah yang sedang megap-megap. APBD yang semestinya digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan layanan publik, kini harus dialihkan untuk membayar ongkos dari kesalahan politik yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Pangkalpinang misalnya, harus merogoh sekitar Rp 35 miliar dari APBD untuk membiayai Pilkada ulang. Dan lebih menyakitkan lagi, anggaran sebesar ini harus dikeluarkan karena partai-partai politik secara kompak memilih jalan pintas dengan mendukung pasangan calon tunggal. Keputusan yang tidak hanya pragmatis, tapi juga kerdil secara moral dan melukai nilai-nilai demokrasi. Mereka menutup ruang kompetisi, mematikan harapan rakyat, dan mencederai proses demokrasi yang sehat.
Padahal, demokrasi adalah soal pilihan. Ketika rakyat dipaksa memilih tanpa pilihan, maka sejatinya itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap suara publik. Maka tak heran ketika rakyat memutuskan untuk memilih kotak kosong. Itu bukan ketidaktahuan, itu adalah perlawanan. Sebuah pesan keras bahwa rakyat sudah muak dengan politik akal-akalan. Dan akhirnya kotak kosong menang.
Yang lebih ironis, setelah semua ini terjadi, para elite partai bukannya bertanggung jawab, malah saling cuci tangan. Pemerintah daerah dibiarkan kelimpungan mencari dana. Pemerintah pusat pun kabarnya menyatakan tak bisa membantu dan menyerahkan seluruh pembiayaan kepada APBD. Lalu, ke mana para petinggi partai yang kemarin begitu bersemangat mengatur pencalonan?
Para pimpinan DPRD yang juga berasal dari partai politik tidak boleh diam. Mereka harus turun tangan melobi pusat. Mereka harus menggunakan jaringan partainya bukan hanya untuk kepentingan elektoral, tetapi untuk menyelamatkan daerah dari kebangkrutan akibat kesalahan kolektif politik mereka sendiri. Ini tanggung jawab moral dan konstitusional, bukan sekadar formalitas jabatan.
Dan ini harus menjadi pelajaran penting bagi semua partai politik: berhentilah membuat keputusan sempit dan elitis yang hanya menguntungkan segelintir elite. Jangan lagi menutup ruang demokrasi hanya karena seorang kader tidak punya kekuatan finansial. Berapa banyak kader tulus dan berintegritas yang telah membesarkan partai, namun disingkirkan hanya karena tak mampu “membeli perahu”? Demokrasi bukan barang dagangan, dan rakyat bukan komoditas suara.
Hari ini, perlawanan rakyat tidak berhenti pada kotak kosong. Kini mulai muncul gelombang baru dengan hadirnya calon perseorangan (non-partai) yang mencoba melawan hegemoni politik uang dan kartel partai. Mereka tengah berjuang melampaui berbagai rintangan administratif yang rumit, aturan yang ketat, dan tahapan verifikasi faktual yang seolah dibuat untuk menggagalkan. Jalan mereka sangat berat, nyaris tak masuk akal untuk bisa lolos. Tapi mereka tetap berjuang—bukan demi kekuasaan, tapi demi harga diri rakyat.
Calon independen ini adalah simbol perlawanan terhadap dominasi partai politik yang selama ini merasa tak tergantikan. Mereka hadir membawa pesan bahwa demokrasi tak boleh dimonopoli. Bahwa ketika rakyat bersatu, maka perubahan bukan lagi harapan kosong tetapi keniscayaan yang akan datang, cepat atau lambat.
Cukuplah rakyat menjadi korban dari manuver partai yang elitis dan oportunis. Jangan lagi demokrasi dikerdilkan menjadi transaksi. Jika partai terus abai terhadap suara rakyat, maka gerakan rakyat akan menemukan jalannya sendiri. Dan saat itu tiba, bukan hanya kotak kosong yang akan menang, tapi seluruh sistem lama akan ditantang oleh kekuatan baru, yaitu, kekuatan rakyat.
Rakyat sudah bangkit. Jangan anggap mereka bodoh.
Tentang Penulis:
Muhamad Zen adalah wartawan yang mengaku lulus dari Universitas Gunung Maras (UGM) , Fakultas Ilmu Politik Perkeliruan—kampus fiktif yang tak masuk data Dikti. Ia dikenal sebagai mahasiswa abadi yang lebih sering nongkrong daripada kuliah, tapi justru dari sanalah ia paham bahwa politik kita sering lebih mirip drama absurd ketimbang tata kelola negara.
Menurut Zen, melihat elite parpol yang cuek terhadap beban APBD seperti menyaksikan dosen killer yang pura-pura tidak tahu mahasiswa belum makan tiga hari. Bedanya, kalau mahasiswa bisa ngutang di warteg, APBD tidak bisa. Jadi, kalau tulisan ini bikin Anda tersindir atau tersedak, silakan koreksi—tapi jangan banting HP, karena harganya lebih mahal dari janji politik.
Catatan Redaksi:
————————————
Isi narasi opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan atas penyajian artikel ini, Anda dapat mengirimkan artikel atau berita sanggahan/koreksi kepada redaksi kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sanggahan dapat dikirimkan melalui email atau nomor WhatsApp redaksi seperti tertera pada box Redaksi.