Pro-Kontra Kasus 300 Triliun di Meja 13 Warkop Akew

Oleh Muhamad Zen S.IP.P (Alumni Universitas Gunung Maras (UGM)) 

Pangkalpinang, Babelku.com
MEJA 13 di Warkop Akew kembali menjadi saksi bisu diskusi panas soal korupsi tata kelola timah senilai 300 triliun. Topik ini semakin memanas pasca aksi damai dari kelompok Masyarakat Peduli Bangka Belitung (MPBB) di kantor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bangka Belitung. Aksi tersebut digagas tokoh-tokoh seperti Elly Rebuin, Guru Natsir, Tomi Candra, dan beberapa aktivis lainnya.

Di sisi lain, kelompok Bangka Belitung Menggugat (BBM), yang diisi oleh tokoh-tokoh seperti Eddy Supriadi, Saviat, Tanwin, Angga, Hendra, Teddy, Subri dan Mochtar Montong justru mendukung langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengusut tuntas kasus ini. Pertarungan opini antara kedua kubu ini tidak terhindarkan dan menjadikan meja 13 sebagai arena perdebatan sengit.

Pro-Kejagung: Usut Tuntas, Bongkar Semua!

Kelompok BBM menyatakan bahwa angka kerugian negara sebesar 271 triliun, yang diungkap oleh Prof. Bambang Hero, adalah puncak gunung es.

“Ini bukan hanya soal angka. Kalau diselidiki lebih dalam, bisa jadi kerugian negara jauh lebih besar!” ujar Subri dengan nada tegas.
Ia menambahkan bahwa kasus ini membuka mata masyarakat tentang parahnya pengelolaan sumber daya alam di Bangka Belitung.

Eddy Supriadi, salah satu pendukung BBM, menekankan pentingnya tindakan hukum yang cepat dan tegas.
“Kita harus mendukung Kejagung. Mereka sedang membersihkan para tikus berdasi yang selama ini menggerogoti kekayaan daerah!” katanya, sambil menikmati kopi pahit.

Kontra-Kejagung: Tuduhan Tak Berdasar, Bangka Belitung Rugi!

Di sisi lain, kubu MPBB memiliki pandangan berbeda. Mereka menilai laporan kerugian negara itu tidak akurat dan telah merusak citra ekonomi Bangka Belitung.

“Perhitungan Prof. Bambang Hero itu ngawur! Akibatnya, ekonomi kita anjlok sampai 0,13 persen. Kita jadi daerah dengan pertumbuhan terendah se-Sumatera,” protes Elly Rebuin yang juga dikenal dengan nama Ibu Menteri Gorong-gorong dengan suara lantang.
Ia juga menyebut adanya somasi dari firma hukum AK Law Firm terhadap Prof. Bambang Hero sebagai bukti bahwa laporan tersebut tidak bisa dipercaya.

Elly Rebuin menambahkan, “Jangan sampai kasus ini hanya jadi alat politik untuk kepentingan tertentu. Kita butuh keadilan, bukan pencitraan!”

Diskusi Makin Memanas
Pertarungan argumen di meja 13 makin sengit ketika isu lingkungan dan kesejahteraan masyarakat dibahas.

“Kalian lupa ya? Penambangan liar itu merusak lingkungan kita. Hutan habis, air tercemar, nelayan dan petani menderita!” sergah Subri kepada kubu MPBB.
Namun, Ibu Menteri Gorong-gorong langsung menyanggah, “Jangan sembarangan tuduh! Justru korupsi yang kalian teriakkan itu hanya propaganda untuk menutupi masalah ekonomi kita yang sebenarnya!”

Diskusi menjadi semakin panas ketika salah satu anggota BBM menyatakan bahwa dana hasil korupsi harus dikembalikan dan digunakan untuk reklamasi lingkungan.
“Kerusakan ini sudah parah. Pelaku korupsi harus bayar dan perbaiki lingkungan kita!” ujarnya dengan nada geram.

Kubu MPBB tak tinggal diam.
“Jangan munafik! Kalau benar mau reklamasi, kenapa sampai sekarang pemerintah pusat tidak juga bertindak? Apa yang kalian bela itu cuma teori, tidak ada realisasinya!” balas Elly dengan tajam.

Mencari Jalan Tengah

Di tengah perdebatan panas, salah satu pelanggan Warkop Akew yang netral mencoba menenangkan suasana.
“Kawan-kawan, yang penting sekarang adalah mencari solusi nyata. Jangan hanya saling tuding. Korupsi memang harus diberantas, tapi ekonomi masyarakat juga harus diselamatkan,” ujarnya bijak.

Namun, suasana masih tegang.
Diskusi di meja 13 seolah mencerminkan dilema besar yang dihadapi Bangka Belitung: antara perjuangan melawan korupsi dan upaya mempertahankan stabilitas ekonomi.

Jalan Panjang Menuju Keadilan
Kasus korupsi 300 triliun ini memang membuka banyak luka di Bangka Belitung, baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Kejagung, pengadilan, dan masyarakat harus bersinergi untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar terasa hingga ke akar rumput.

Diskusi di meja 13 Warkop Akew tak hanya mencerminkan perpecahan opini, tetapi juga harapan tersirat untuk perubahan besar di Bangka Belitung. Keduanya, baik kubu pro maupun kontra, sebenarnya sepakat pada satu hal: kondisi saat ini tidak bisa dibiarkan.

“Kalau begini terus, yang rugi tetap rakyat. Tambang rusak, ekonomi hancur, tapi koruptor malah hidup enak!” ujar salah satu pendukung BBM dengan nada emosional.

Dari pihak MPBB, mencoba meredakan ketegangan.
“Kita tidak pernah menolak pengusutan, tapi jangan sampai caranya salah. Tuduhan tanpa dasar justru menghancurkan perekonomian daerah kita. Harus ada pendekatan yang adil dan transparan,” katanya sambil mengetuk meja pelan.

Salah satu topik yang akhirnya disepakati adalah perlunya reformasi tata kelola tambang di Bangka Belitung. Semua pihak sepakat bahwa tambang, sebagai sumber daya utama, harus dikelola dengan cara yang lebih transparan dan berkelanjutan.

“Pertama, moratorium izin tambang bermasalah itu wajib,” kata Eddy dari BBM.
“Dan harus ada keterlibatan masyarakat lokal. Jangan hanya pemerintah pusat yang menentukan segalanya,” tambah Elly, kali ini menyetujui pendapat lawannya.

Poin penting lainnya adalah pengawasan ketat terhadap restitusi dana korupsi. Kelompok BBM menyarankan pembentukan tim pengawas independen untuk memastikan dana hasil sitaan benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat.

“Dana itu harus untuk rakyat. Jangan sampai jadi bancakan lagi!” tegas Subri, yang disambut anggukan oleh beberapa pelanggan meja 13.

Harapan untuk Bangka Belitung
Diskusi di meja 13 akhirnya menunjukkan bahwa meskipun perdebatan berlangsung sengit, tujuan utama tetaplah sama: mengembalikan martabat Bangka Belitung.

“Korupsi ini adalah kanker yang harus kita bersihkan. Tapi jangan lupa, setelah itu kita harus membangun bersama. Tidak ada lagi kubu-kubu. Kita satu Bangka Belitung,” kata seorang warga yang akhirnya menutup diskusi.

Sebagai simbol persatuan, mereka sepakat bahwa langkah pertama menuju perubahan adalah memastikan kasus ini ditangani dengan transparansi, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat.

Pesan dari Meja 13
Apa yang terjadi di meja 13 Warkop Akew adalah refleksi dari konflik dan harapan masyarakat Bangka Belitung. Dengan kasus 300 triliun ini, Bangka Belitung memiliki peluang untuk menjadi contoh keberhasilan dalam melawan korupsi dan membangun tata kelola sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan.

Namun, keberhasilan itu hanya mungkin jika semua pihak mampu melampaui ego dan bekerja sama demi masa depan yang lebih baik. Seperti yang terucap di akhir diskusi:
“Ini bukan soal siapa yang menang, tapi bagaimana Bangka Belitung bisa bangkit kembali.”

 

Penulis: Muhamad Zen
banner 970x250 banner 970x250banner 970x250
banner 970x250 banner 970x250banner 970x250
error: Content is protected !!